Pentingnya Bermahzab

Tidak pernah ada perintah wajib untuk bermadzhab, namun bila kita menjalankan syariah maka tentunya pastilah kita mesti memilih salah satu madzhab, sebab dalam syariah itu ada banyak hal yg berikhtilaf, dan zaman kita ini sudah sangat jauh dari masa masa para Muhadditsin dan Huffadh,mereka para Huffadh itu adalah orang yg sudah hafal lebih dari 100 ribu hadits Rasul saw dengan sanad dan hukum matannya, sedangkan satu hadit pendek yg sebaris saja misalnya, akan menjadi dua halaman bila disertai dg sanad dan hukum matannya, dan mereka yg sudah diatasnya adalah disebut Alhujjah, yaitu yg sudah hafal lebih dari 300 ribu hadits dg sanad dan hukum matannya,

Diatas itu adalah para Imam, sebagaimana Imam Bukhari yg sudah hafal 600 ribu hadits saat usianya dibawah 20 tahun, juga Imam Ahmad bin hanbal (imam hambali) yg hafal 1 juta hadits dg sanad dan hukum matannya hingga digelari Huffadhuddunia,

Imam Hambali adalah murid daripadan Imam Syafii, dan mereka mereka itu mengambil pendapat masing masing dalam menafsirkan makna ayat dan hadits, diikuti oleh ratusan Huffadh dan Imam yg menjadi murid murid mereka,
Tentunya bagi kita untuk mengikuti salah satu dari mereka, karena kita sangat jauh dari pemahaman seperti mereka, sedangkan hadits yg masih ada hingga kini tidak mencapai 100 ribu hadits, maka betapa jutaan hadits yg telah sirna dan itu semua telah mereka fahami dan kita tak memahami dan mengetahuinya,

Oleh sebab itulah wajib kita bermadzhab, sebagaimana orang yg tak tahu jalan sebaiknya mengikuti orang yg berjalan didepannya, karena orang itu selamat dalam langkahnya dan tidak terjebak, dan sebaiknya ia memilih orang yg terpercaya untuk diikuti sebagai panutan menuju tujuan,

Kiasan bahwa kita dalam meniti samudera kehidupan ini baiknya kita mengikuti orng yg sebelum kita, yg sudah melewati samudera ini dan mereka tak terperosok dan jatuh pada kekufurandan paa pakar hadits itu sudah tidak ada lagi dimasa kini, maka kia mengikuti pendapatnya (madzhabnya),

Maka bermadzhab wajib hukumnya, sebagaimana Kaidah yg baku : “wamaa yatimmul wajib illa bihi, fahuwa wajib” (semua yg menjadi pendukung untuk mencapai hal yg wajib maka hukumnya menjadi wajib).

Contoh mudahnya seperti ini dibawah ini :
Membeli air hukumnya tidak wajib, namun bila kita ingin berwudhu tapi tidak ada air, dan yg ada hanyalah air yg dijual belikan, dan waktu shalat fardhu sudah masuk, maka wajib kita membeli air itu, karena hanya dengan membeli air itu kita bisa melaksanakan shalat, padahal membeli air itu hukumnya mubah saja, tidak wajib dan tidak sunnah, namun berubah menjadi wajib karena menjadi pendukung hal yg wajib yaitu shalat fardhu.

Demikianlah makna Kaidah diatas, maka kita wajib mengikuti syariah islamiyah namun kita tak hidup di zaman nabi saw dan bukan pula seorang pakar hadits yg hafal ratusan ribu hadits dan memahami syariah secara mendalam, maka wajiblah kita bermadzhab, karena dg bermadzhab kita dipastikan sejalan dg tuntunan sunnah.

Allahu a’lam



Imam Syafii sudah menjadi imam sebelum Imam Bukhari lahir, Imam Syafii lahir pada 150 H, sedangkan Imam Bukhari lahir pada 194 H. namun karena tempat yg berjauhan, maka Imam syafii tidak sempat bertemu dg Imam Bukhari.

Namun dalam ilmu hadits memang Imam Bukhari lebih masyhur, namun dari segi hukum dan fatwa, Imam Syafii lebih masyhur, dan Imam Bukhari pun mempunyai madzhab, namun madzhabnya sudah tdk ada lagi sekarang (punah), demikian pula imam syafii, madzhabnya berkelanjutan namun sanad haditsnya kebanyakan sdh tdk dikenal
Walaupun Imam Syafii tidak termasuk dalam kutubussittah, namun sanad mereka banyak bersumber dari Imam Syafii, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal yg menjadi murid Imam Syafii.

Keempat madzhab merujuk pada dalil dalil shahih dan diikuti ribuan muhaddits pada masing masing madzhabnya dan dibenarkan oleh mereka, maka itu sebenarnya bukan pendapat satu imam saja, tapi dibenarkan oleh ratusan imam sesudahnya yg mengikuti madzhab tersebut, dan 4 madzhab itulah yg paling banyak diikuti para imam imam selanjutnya, maka mereka lah yg bertahan, sungguh semua madzhab itu shahih, sudah dishahihkan oleh ratusan para imam setelah imam madzhab tsb.

Banyak Imam Mujtahid, ribuan bahkan lebih, namun Imam 4 itu sangat kuat karena diikuti oleh ribuan Mujtahid, mereka sudah mengatasi gelar mujtahid, Mujtahid adalah ulama yg sudah mendalami seluruh madzhab 4, pakar dalam alqur;an, pakar dalam hadits pakar dalam seluruh cabang ilmu syariah, maka ia digelari Mujtahid.

Namun Ijtihad, adalah pendapat baru dalam hal yg tidak diketahui hukumnya/belum dibahas, atau menanggapi dua pendapat yg berbeda dalam syariah.

Siapa saja boleh berijtihad, namun untuk dirinya, bukan untuk muslimin umum, misalnya begini, ia berada disuatu tempat yg tak ia ketahui kiblatnya, misalnya di hutan atau wilayah kalangan non muslim, ia tidak bisa melihat matahari karena malam misalnya, maka ia berijtihad, misalnya : seingat saya arah barat di wilayah terdekat sini adalah kesana, timur berarti sebaliknya, maka kiblat adalah arah ini. Ini adalah ijtihad.

Namun Ijtihad yg jika dimaksud fatwa, maka kita lihat siapa yg berfatwa, apakah ia ulama dan pakar dalam syariah, gelar profesor tak diakui dalam syariah, yg diakui adalah kematangannya dalam syariah walau tak ada gelar.
Maka jika ijtihadnya bertentangan dg fatwa ulama besar apalagi para Imam Imam, maka ijtihadnya batil.
Karena ijtihad butuh pertimbangan matang dari rujukan banyak hadits dan ayat dan fatwa. dan tentunya para imam terdahulu lebih matang dari ulama masa kini.
Dan fatwa/ijtihad mereka sudah diakui dan diikuti ribuan para imam lainnya sesudah mereka, maka itu menjadi sangat kuat.

Pakar hadits mempunyai gelar, ada yg bergelar Al Hafidh, yaitu yg teah hafal 100.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya, ada yg bergelar hujjatul Islam, yaitu yg telah hafal 300.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya. Imam hambali hafal 1 juta hadits berikut sanad dan hukum matannya, demikian Imam Abu Dawud, dan banyak lagi.
Dimasa itu ribuan para alhafidh dan ratusan para hujjatul islam, lalu bagaimana jika semacam Imam Syafii, yg Imam hambali adalah muridnya, dan Imam Syafii diikuti oleh sangat banyak para Hujjatul islam, tentunya ia merupakan samudera syariah.
Lalu bagaimana jika ada yg menentang fatwa imam syafii?, apakah ia sebanding keluasan ilmunya dg Imam Syafii?, tau sebanding dg Imam Imam Madzhab lainnya? Atau hanya seorang yg tak hafal 1 hadits pun berikut sanadnya, namun bergelar Profesor lalu berfatwa menyalahkan mereka? Maka tentunya Ijtihadnya tidak bisa dijadikan rujukan. Apalagi jika bertentangan dg Nash alqur’an dan hadits, maka Ijtihadnya batil.

Tinggalkan komentar